Cerpen - Menggenggam Darah

                            

Menggenggam Darah

Karya: Ilyas Saputra Arsyad

Terlihatlah rintikan hujan seperti paku yang menghujam menyentuh permukaan bumi. Manusia berlari sana-sini sambil berteriak, beberapa dari mereka mati tanpa ada yang mengetahui— mati tanpa sebuah impian dan cita-cita yang tercapai. Tuhan mengkehendaki tubuh ini menjadi seonggok debu yang berterbangan tatkala dunia sedang membara dan api segera menjalar menjilati setiap kulit manusia yang merana. Padang bunga yang indah dengan mawar dan azaleanya terbakar begitu saja layaknya kayu yang disiram api neraka. Kau tak akan bisa berlari dari api itu, dari segala kehancuran yang sedang menimpa umat manusia. Darah akan menggenang diatas trotoar, dan kau akan terbiasa dengan darah tersebut seperti terbiasa melihat air disebuah sumur yang dipenuhi lumut ditengah hutan. Wabah Sampar dan Wabah Hitam seperti mengurungmu disebuah kota dengan mayat-mayat busuknya, dan peperangan serta kepunahan manusia seolah serupa dengan para wabah itu, mengurung umat manusia didalam keterpurukan yang siapapun tak ingin merasainya. Terpuruklah kau para bedebah yang berasal dari dasar neraka! Mereka bangkit lagi sambil mengacungkan senapan serta senjata tajamnya kearah wajah manusia yang tak berdosa, mengancam demi menghancurkan mental manusia.


“O, lihatlah mereka itu, mereka menjarah mayat orang-orangnya sendiri. Mengambil perhiasan yang tak akan berguna di detik ini. Kiamat akan menghadang mereka saat jiwa tercabut dari raga.”


“Kasihan sekali, mereka sudah mati dan menjadi tulang-belulang, tetapi mereka bangkit kembali karena dendam dan segala urusan dunianya belumlah terselesaikan. Akankah kita dibantai oleh para makhluk neraka itu? Yang telah hidup kembali setelah ratusan tahun terkubur diatas tanah gersang.”


“Tak tahu apakah penyihir yang melakukan ini, ataukah Tuhan yang melakukan ini? Namun harus kita ketahui bahwa mereka baru saja bangkit kembali demi mencapai segala tujuannya yang belum tercapai.”


Para mayat hidup itu berjalan seperti seorang manusia yang sehat raganya, tanpa tertatih-tatih apalagi terjatuh. Namun mereka tetap berjalan, membunuh, lalu merampas segala hak manusia yang masih hidup. Batangan emas mereka curi, jutaan koin mereka rampas, dan nyawa manusia mereka renggut tanpa sebutir dosa pun yang mereka pikirkan, karena mereka adalah para mayat hidup yang otaknya telah membusuk oleh dendam dan segala kebencian. Bumi pun memuntahkan mayat mereka, melemparkannya keatas permukaan kembali dengan rupa yang begitu menjijikan. Kulit yang busuk serta nanah yang begitu memuakkan menghiasi raganya, seolah bara api yang begitu panas telah menyiksa mereka di alam yang begitu jauhnya. Para pendendam, para pendengki, dan para manusia dengan segelintir dosa berat lainnya membawa malapetaka kepada umat manusia yang tengah bersenang dengan hati penuh kesucian abadi. Perang Darah dan Perang Nyawa segela meletus kembali, membawa dunia kepada gelapnya sang matahari tatkala asap mengalangi cahaya indahnya.


Beberapa kota telah mati tak berpenghuni, hanya ada sekumpulan Makhluk Darah itu yang tetap terbangun meskipun bulan dan matahari silih berganti. Mereka seolah tak ingin melewatkan sedetikpun, tak ingin melepaskan manusia yang berlari ketakutan sambil memohon kepada Tuhannya agar diselamatkan kehidupannya. Makhluk Darah itu terus berjalan dan berjalan tanpa arah tujuan yang jelas, terkadang diam sejenak sambil membungkuk layaknya dosa yang ditanggung semasa hidupnya begitu berat dan menyedihkan sehingga membuat tubuh membungkuk kemudian. Namun aku tetaplah harus melewati mereka, mencari para manusia yang selamat, mencari segala hal yang bisa kuselamatkan meskipun bahaya dan kematian seperti berada beberapa inchi dari depan mataku.


    “O, bau busuk ini begitu mengerikan. Lebih busuk dibandingkan tumpukan bangkai diatas tempat sampah.” Aku mengendap-ngendap seperti tikus dikala malam demi menghindari Makhluk Darah itu.


    Kau akan mengerti saat duniamu sedang tak baik-baik saja, saat keadaan bumi ini kacau-balau oleh sebuah perang ataupun wabah. Darah akan selalu kaulihat dengan biasanya, dan mayat-mayat yang tergeletak diatas sana sudah sama seperti tumpukan karung yang biasa kulihat disebuah gudang padi. Bau busuk akan selalu menjadi udara yang kau hirup setiap saat, meskipun begitu menjijikan dan membuat semua makanan dalam perutmu meronta begitu saja, tetapi kau akan terbiasa dan seolah nyaman dengan bau busuk ini karena sekarang kau dipaksa hidup diatas kiamatnya umat manusia. Punahnya segala kesuburan bumi yang hijau ini, berubah menjadi tandus dan menjijikan dengan tanah kelabu yang berbau busuk dan kering. Tumbuhan tak dapat tumbuh dengan sendirinya, dan semua hewan-hewan telah mati dimakan oleh belatung dan serangga yang sama busuknya. Langit dan awan tak akan pernah nampak ceria, hanya ada kekelabuan yang begitu gelap hingga kau tak bisa membedakan siang dan malam karena gelap dan suramnya keadaan saat ini.


Sampailah aku di kediamanku sendiri yang telah lama kutinggalkan. Teringat kekasih yang begitu cantiknya dengan mata hitam yang begitu indah seperti tinta yang tersinari cahaya. Surat-surat seolah kembali tertulis dikepalaku, mengingatkanku pada suatu masa hidup yang begitu bahagia dengannya, berkencan seperti dua pemuda-pemudi yang menikmati hidup dikala senja merenungi nasib manusia. Dunia ini pernah cerah, pernah begitu indahnya dengan dedaunan oranye yang jatuh pada musim gugur. Menikmati setiap tarikan napas di musim semi yang menyegarkan tanpa bau busuk dan darah disetiap telapak tangan dan kaki.


“Celestia, dimanakah kau berada. Bertahun-tahun aku tak melihat rupamu yang seperti mawar itu, tak pernah kuendus lagi aroma tubuhmu yang begitu harum mempesona,” gumamku mengingat rupa kekasihku yang begitu elok dilihat. Kubuka lemari kamarku sendiri yang sudah penuh bercak darah, lalu melihat lukisan Celestia yang masih terlihat jelas dengan senyum seindah matahari terbit. Begitu menenangkan senyuman itu, membuat dunia yang sedang merana ini indah seketika, melemparkan segala keraguan ketika menjalani hidup yang begitu sukar ini. Hatiku berdegup kencang ketika mengingat semua itu, merindukan dirinya yang telah hilang selama ini, merindukan kedamaian yang dimiliki manusia.


“Seandainya kau masih disini tentu saja kerinduanku akan hilang, tetapi siapa yang mau pula hidup di dunia yang busuk ini, hidup di dunia yang dimana para makhluk berdosa itu bangkit lalu memangsa manusia dengan ganasnya. Lebih baik kau tiada, Celestia, tiada dan tak pernah kembali ke dunia ini lagi. Biarkan aku yang berjuang menghadapi segala kekerasan yang ada, berjuang demi mempertahankan napasku sendiri. O, kekasihku, tiada dirimu akan terkenang selalu, tetapi aku selalu berharap kau tinggal di alam yang tenang, yang dimana para manusia bisa tersenyum sambil menikmati segala-galanya tanpa terpikirkan kematian ataupun rasa sakit yang mengerikan.” Aku menutup lukisan Ratu Bulan itu menggunakan sebuah kain putih bersih, lalu menaruhnya kembali kedalam lemari hitamku, dan menutupnya kembali sambil berdoa agar tak seorangpun yang berani mencuri lukisan cantik ini.


Hujan darah telah tiba saat aku berjalan mengendap menelusuri trotoar. Gumpalan darah yang hitam seolah dapat kugenggam dan kurasakan bentuknya. Langit menjadi merah, dan bumi seperti terselimuti cairan pekat yang begitu mengerikan. Mayat-mayat digantung dengan tubuh yang terpotong-potong, jalanan banjir oleh darah yang hitam pekat mengalirkan potongan dan jeroan tubuh manusia menuju tempat asalnya. Kurasakan tubuh ini menegang seketika. Aku memutuskan untuk bersembunyi sejenak disebuah bangunan runtuh yang diselumuti lumut dan tanaman bangkai, dan menangis sekencang-kencangnya melawan hujan darah yang membuat siapapun tak ingin berada di dunia ini lagi. 


“O, Tuhan. Aku sudah tak sanggup lagi, haruskah aku mengakhiri keadaan ini, mengakhiri hidup yang begitu kesepian ini?” Tak ada seorangpun manusia yang kutemui, semunya hanya mayat, mayat, dan mayat saja yang nampak. Bahkan saat sepasang kaki ini seolah ingin putus karena berjalan terus-menerus,” keluhku sambil menghela napas sejenak mendengarkan rintikan hujan yang merah pekat dengan bau busuknya yang selalu menusuk.


Hujan tak akan pernah mati seperti wabah yang terus menyebar mendekap bumi dan isinya, memberikan kematian satu-persatu, memberikan siksaan kepada para pendosa yang mengingkari kewajiban Tuhan, lalu menghempaskannya kedasar neraka demi disucikan jiwanya. Bangkitlah mereka untuk kedua kalinya, memangsa jiwa-jiwa manusia yang kesepian ditengah hujan darah, air menggenang tetapi bukanlah air hujan seperti biasanya, melainkan segumpal darah yang dapat kugenggam lalu kuendus bau amis dan busuknya. Sebusuk-busuknya bangkai tikus disebuah saluran pembuangan, tak ada apa-apanya dibandingkan keadaan saat ini dimana mayat bergelantungan dengan darah yang terus mengucur dan belatung-belatung yang merayapi ujung kaki. Tanah seperti gumpalan daging busuk yang habis terbakar lilin kecil, baunya menyengat dengan lendir kehitaman yang begitu menjijikan, membuat siapapun tak tahan untuk muntah apalagi menangis ketakutan. Berharaplah semua ini mimpi buruk! Berharaplah kadaanku sekarang hanyalah sebuah imajinasi yang dibuat diriku sendiri. Seandainya aku terbangun diatas tempat tidur yang nyaman, gorden-gorden jendela terbuka memancarkan sinar matahari pagi yang menyejukan, kutatap lebih jelas kedepan dan kudapati kekasihku tengah tersenyum dengan rambut yang disanggulnya, begitu cantik dan indah adanya. Namun semua itu hanyalah khayalanku, hanyalah harapan dan segala doaku. Semoga saja Tuhan mengabulkannya.


Aku terbangun, masih diatas tanah yang busuk ini. Namun kini aku terbangun bukan karena matahari yang terbit ataupun hujan darah yang mereda, tetapi kini aku terbangun karena bau busuk itu semakin menyengat, semakin pekat dan begitu menjijikan. Aku muntah seketika, memuntahkan segala isi perutku yang kosong ini. Air mata mengalir deras, mengeluarkan darah dari sepasang bola mata yang bulat ini, bahkan sepasang lubang telinga pun mengeluarkan darah hitam pekat. Inilah ajalku! Wabah sudah mendatangiku seperti malaikat yang mendekati seorang yang sekarat. Waktuku telah usai, kini mayat hidup tersebut mendekatiku, dosa-dosa masa lalu pun seolah teringat kembali, dosa berat yang terus kujalani meskipun peringatan dari Tuhan silih berganti. Namun aku tak pernah mendengar peringatan tersebut, dosa tetaplah dosa, dan perlakuanku ialah berdosa kepada umat manusia, kepada Tuhan dan kepada seluruh alam.


Aku membunuh kekasihku sendiri, membunuh keluargaku, membunuh sahabat-sahabatku, dan membunuh seorang yang sekarat ketika hutan dan juga rawa-rawa menutupi segala kebejatanku itu. Tulang-belulang mereka kukuburkan diatas gelapnya pepohonan hutan yang akarnya meliuk-liuk keatas. Ingatan tersebut menyangkal dosaku, mengurungku diatas penderitaan hebat yang begitu memuakkan. Kini aku menerima segala dosa tersebut dengan diperlihatkannya mayat-mayat serta hujan darah dan segala kebusukan yang mengerikan lainnya. Tuhan memperlihatkan neraka yang sesungguhnya kepadaku. Wabah mengerikan itu merayap memasuki setiap sel darahku, menggantikannya dengan bakteri yang busuk.


Kesadaranku mulai menghilang, tetapi aku tak ingin menjadi makhluk yang tetap hidup dengan pikiran yang tak terkendali. Dibanding aku tetap menderita meskipun mati, lebih baik mengakhiri hidup ini lebihlah menyenangkan rupanya. Kugenggam sebuah pecahan kaca yang mengkilap-kilap disebelahku, lalu mengarahkannya kearah leherku. Ada kurasai ketakutan sejenak yang begitu mencekam, berusaha untuk meletakkan kembali pecahan kaca tersebut. Namun dosa dan segala ingatan bejat itu teruslah menggema, meneriakiku dari berbagai arah seperti guntur yang menghantam tanah. Tanpa berlama-lama segeralah kugesekkan pecahan kaca itu kearah leherku. Panas yang membara dan perih yang tak tertahankan cepat menghilang seperti ingatan yang melayang.


Semuanya menguap, mataku tertutup. Tiada lagi seseorang yang hidup disisiku. Makhluk Darah itu telah pergi, dan segalanya pun pergi. Hujan darah dan mayat tetaplah menjadi bagian dari diriku! Busuk! Busuklah semua itu! Bahkan saat kematianku ini, kurasai udara busuk yang terus menusuk merasuki paru-paruku, menghancurkan sisa detikku yang berdosa ini. Aku menguap bersama dosa, pergi melintasi neraka dan bangkit kembali, menjadi Makhluk Darah yang berjalan tanpa arah tujuan yang pasti.

Komentar

Postingan Populer