Cerpen - Negeri Asing

 

Negeri Asing

          Karya: Ilyas Saputra Arsyad

Jika kau tatap mataku yang sendu ini, kau bakalan menemukan berjuta rasa kesakitan yang tak pernah seorang pun alami. Terlantar di negeri asing sudah bagaikan terdampar disuatu pulau yang tak terjamah, tak seorangpun menginginkannya. Matahari seolah hilang dari langit, digantikan oleh asap kelabu yang menyengat hidung, beraroma hambar yang mematikan setiap fungsi indra pada tubuh, membawaku kedalam dunia antah-berantah yang tak pernah tertapaki oleh sepasang kaki ini. Dalam setiap detiknya, jiwa dan raga ini begitu rindu pada tanah air yang sudah merdeka, bebas dari segala kehambaran dunia yang begitu menijijkan, bebas dari segala persoalan negeri yang tampaknya kacau-balau tak tertahankan. Setelah rindu pada negeri sendiri, rindu pula pada sang istri, rindu pula pada sang putri yang begitu manis dengan rona merah di pipinya, tak ada yang menemani jati diriku sebagai pria yang tengah luntang-lantung dijalanan Moskwa yang dingin ini.

          Hidup sebagai eksil, tak tentu arah untuk masa depan, berdiam di negeri Beruang Merah yang begitu dinginnya, dijauhi dari segala kehangatan pada tanah airku yang tercinta. Dicaci dalam diam dan dihina dalam kesendirian adalah penderitaan paling menakutkan bagi makhluk hidup yang dinamakan manusia. Tak bisa berpulang ke negeri sendiri adalah kebijakan sang penguasa, terasingkan jauh di utara yang begitu aneh, tak tentu rimbanya wujud yang muda dan nasionalis ini. Hei, Bung, tak bisakah kau menganggap kami seorang pahlawan meskipun perbedaan ada pada setiap darah dan pemikiran kami. Hei, Bung, bisakah kau beri kami satu kesempatan terakhir untuk memeluk keluarga tercinta disana. Ah, tanah airku, bangsaku yang megah dengan berjuta keindahan beserta kemewahannya, tak pernah kuratapi nasib bangsaku yang begitu penuh keterpurukan itu. Bangsaku tetap megah meski beribu masalah menerjang, meskipun kau mengkhianati kami yang berusaha berjasa pada negeri ini, tak pernah aku berpikiran sedikitpun untuk menjauhimu apalagi memusuhimu sebagai manusia yang sadar dan berakal.

          “Bung, kau jauh dari rumahmu. Tak pernah kau rindu pada keluargamu?” tanya sobatku yang sedang duduk di depan perapian, menikmati setiap kehangatan dimusim dingin ini.

          “Keluargaku sudah berpuas diri dengan segala kemewahan disana, diselimuti berbagai hak-hak istimewa yang tak seorang manusia biasa pun rasai. Sedangkan aku, hanya seorang pria yang berpuas diri dengan kehangatan disini saja.” Terkadang kerinduan seperti itulah yang selalu muncul disaat aku menjawab pertanyaan berulang ini.

          Saat musim dingin tiba, warga Moskwa selalu berbondong-bondong menghangatkan dirinya di depan penghangat ruangan, merasakan lagi dan lagi musim dingin dari utara yang membunuh setiap indra perasa. Tak pernah kurasai pula musim dingin semengerikan ini. Pernah kudengar cerita dari seorang pria paruh baya yang tinggal di desa Vyatskoye, bahwa musim dingin inilah yang pernah membunuh lusinan tentara Jerman di Stalingrad pada tahun 1943, menyelamatkan negeri Beruang Merah dari sergapan panzer yang mampu melumat setiap tanah berlumpur, siap menghancurkan segala-galanya yang ada di tanah ini. Aku hanya mendengarkan kisah dari pria paruh baya itu sambil menyesap minuman kvass bersama kawanku.

          “Darimana asalmu? Bagaimana bisa kau kemari tanpa bisa berpulang lagi ke negerimu?” tanya pria paruh baya itu, dia memiliki rasa penasaran yang begitu terlihat dari wajah bergarisnya.

          “Dulu aku adalah seorang pria sejahtera, makmur, dan begitu dihormati disetiap kalangan usia. Namun, sekarang aku hanyalah seorang gelandangan yang tak tentu arah, putus asa dalam pembuangannya.”

          Pria paruh baya itu tak langsung membalas ucapanku. Udara semakin dingin, dan badai salju akan segera datang dari arah utara. Pria itu membetulkan posisi topi ushanka nya yang sudah usang dengan rajutan bulu yang sudah mulai tak jelas bentuknya, berharap topinya bisa menangkis segala jenis udara dingin di musim ini.

          “Tentunya semua manusia pernah diasingkan, dan rasanya begitu sangat kespian. Menyendiri disebuah negeri yang tak dikenal, terasingkan diantara para manusia yang berlalu-lalang sambil tersenyum menelusuri trotoar. Itu semua pernah kurasakan, bahkan tak akan pernah kulupakan.”

          Perjalanan yang begitu jauh bagi kehidupanku dimasa kini. Telah kuhadapi beratus pengalaman, perasaan, dan juga tantangan yang tak pernah kurasai dalam kehidupan biru ini. Bayangkan! Pada kesempatan hidup yang hanya sekali saja, apakah kalian tak ingin merasai kehidupan yang menantang? Kehidupan yang begitu menggoda setiap jiwa dan perasaan? Apakah kalian hanya tertidur dan tak melakukan apapun? Itu adalah menjijikan. Berkelana-lah dimana kau hidup tak tentu arah, meski dunia dan negerimu bersatu untuk membantingmu sampai seluruh tulangmu remuk, tapi percayalah pada tekad dan juga niatmu. Diasingkan bukanlah suatu alasan untuk diriku merasa nelangsa dan terpuruk. Kesendirian terus membantuku supaya tetap hidup sambil berlari meraih segala hal di depanku, entah itu cita-cita, keinginan, atau suatu madu manis yang bisa kau raih jika dirimu merasakan kesendirian pedih itu.

          Di suatu masa kehidupanku juga pernah merasai kemanisan, menyesap teh hangat di pagi yang gerimis, memandangi setiap gadis cantik yang begitu lembut, dan tentu saja mengerjakan segala hal tanpa harus berpikir bahwa diri ini bakalnya diasingkan dimasa depan. Semua itu berjalan dengan aneh, seolah jika aku tak merasakan permasalahan sekecil apa pun, maka permasalahan besar sedang menunggu di depan sana yang siap menamparku dengan keras. Dan betul saja, saat 1965, aku berada di sebuah negara asing, tanpa seorangpun disisiku, diasingkan. Begitulah jati diriku sekarang, luntang-lantung tak tentu arah seperti lalat yang tak menemukan bangkai, menjadi seorang pekerja asing yang hanya bisa menerima upah bulanan dari sang boss berkepala plontos. Semua itu begitu sederhana, kau diasingkan, dan kau menjadi menderita. Sederhana saja.

          Dikejar oleh seseorang berseragam militer dengan wajah dingin, mengacungkan pistol kearah wajahmu yang ketakutan setengah mati. Dengan sedetik kemudian segalanya gelap, tak ada cahaya yang memasuki pelupuk matamu, hanya ada aura bangkai yang mengelilingi jiwa, aura yang hendak membawamu kedalam kesunyian abadi di kehidupan selanjutnya. Diasingkan di dunia dan diasingkan pula di dalam jiwa, menyedihkan sangat, hal seperti inilah yang menjadikan seseorang hidup tanpa keistimewaan abadi. Kini aku menyendiri dalam keheningan semesta yang tetap abadi, sendirian diantara planet-planet besar yang memenuhi galaksi, dan tak ada seorangpun di negeri ini yang tetap memandangku selayaknya manusia hidup yang pernah berjasa bagi negerinya.

          Aku memandang bangunan kota kuno ini, menyaksikan sekawanan pemuda yang tetap menjalani kehidupan mereka seperti biasanya, tertawa riang seolah tak ada beban. Dunia dan isinya menggelora menikmati hari-hari yang disediakan Tuhan, tatkala mereka hendak mengeluh kepada sang alam, Tuhan akan langsung menurunkan malaikatnya untuk memberi berkah dan nikmat kepada si pengeluh tersebut. Betapa murah hatinya Tuhan kepada para manusia pengeluh itu. Kini aku merasa sepenuhnya diasingkan, tak dipandang dunia dan tanah ini, bumi yang besar dan luas seperti menyingkirkanku dari permukaannya. Oh! Bagaimana dengan putri manisku, yang berada jauh di Timur sana, beserta istri dan saudara-saudaraku, apakah mereka merasakan kesendirianku ditengah planet ini, merasakan kehidupan dingin yang mencekam ini, kuharap mereka bisa bersenang meskipun tanpa diriku selamanya. Aku hidup dan aku mati, terlahir kembali sebagai seorang pria murah hati, lalu menghidupi keluarga setengah mati dengan tenaga dan segala keceradasan dalam diriku, dan berujung diasingkan kembali karena memilih suatu pemikiran yang berbahaya bagi penguasa negeriku. Hidup ini tak dapat dijalani oleh seorang yang lemah, hidup ini tak akan bisa dimenangkan oleh mereka yang hanya bisa menatap bangkai manusia dibawah parit berlumpur, tetapi hidup ini memilih mereka yang kuat dalam kesendirian abadinya. Meski dunia ini menyingkirkanmu, mengasingkanmu, dan melemparmu jauh kedalam kegelapan abadi, tetapi haruslah kau ingat bahwa Tuhanmu selalu melirikmu.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer