Cerpen - Semua Tentang Kami

 Semua Tentang Kami


Karya: Ilyas Saputra Arsyad


Kami hanya ingin hidup dibawah hangatnya sinar matahari. Dikala hujan mengampuni seorang manusia yang tengah berjalan diatas dataran tanah gersang, dipenuhi puluhan bangkai yang menyengat dan aromanya mengelilingi bumi yang sudahlah panas ini. Kami terus berjalan tanpa arah dan tujuan, lalu mati diterjang buasnya meriam, dan tibalah kami disuatu ruangan yang gelap tanpa ada sesuatu di dalamnya, dan ruangan tersebut adalah kematian kami bersama. Tiadalah lain pula yang bisa kami lakukan perihal perang seperti ini, segalanya nampak kacau bila dilihat dari segala penjuru, kacau oleh terjangan peluru dan darah yang terus menggenang membentuk kubangan. 


Tak ada tempat berlindung yang aman, tak ada sebuah raga yang dapat selamat dari segala hantaman itu, dan tak ada pula seseorang yang bisa menolong kami yang tertimpa reruntuhan ini. Jikalau Tuhan sudah mencabut jiwa dari raga ini, maka biarkanlah kami mati sebagai pengingat, mati diatas kertas sejarah. Sebagai seorang yang tak dapat bertahan dari hari-hari yang dipenuhi asap mesiu dan butiran peluru yang teruslah berterbangan ini, kami hanya akan bisa diam dan merenungi segalanya, bersembunyi dibalik reruntuhan ataupun harus mati karena hantaman bola panas yang menghancurkan tempat perlindungan kami.


    Ini bukanlah zaman dimana kami melawan sekumpulan Fasis yang membumihanguskan negeri kami. Ini bukanlah zaman dimana kami harus mati-matian melawan musuh yang datang dari negeri lain. Namun ini zaman dimana kami haruslah melawan saudara kami sendiri, melawan seseorang yang sama bahasanya dengan kami, melawan seseorang yang serupa dengan kami. Ini sungguhlah menyakitkan, tiada perang yang lebih menyakitkan dibandingkan perang melawan saudara sendiri.


    Tiada perang yang menguntungkan, dan tiada perang pula yang membuat kemenangan. Semuanya akan menjadi kekalahan seiring waktu berlalu dan seiring zaman berganti. Semuanya merugikan! Tak lain dikala kau harus menerima anak ataupun sanak familimu mati tanpa diketahui, mati ditelan tanah dan mesiu. Semuanya hanyalah kesia-siaan belaka yang membuat sekumpulan manusia menderita dan harus dipaksa menerima nasib mereka yang menyedihkan itu. Sejarah seolah terulang, dan manusia tak bisa belajar dari sejarahnya. Keserakahan dan kemarahan adalah wabah dari semua itu, pikiran-pikiran mereka seolah bersatu untuk menghancurkan musuh-musuhnya, bersatu untuk memberantas segala yang tak sesuai dengannya. Lalu terjadilah peperangan yang menelan ratusan, ribuan, bahkan jutaan anak-anak yang tak tahu apa-apa. Masa kecilnya seolah direnggut oleh kebejatan sifat manusia yang melontarkan ribuan meriam itu, hanya menyisakan wajah murung dengan badan yang dipenuhi luka-luka. Jiwa dan raga seolah tersiksa dan tak ada harapan, mereka hanya bisa menunduk dan berharap semuanya usai, berharap masa-masa indah yang dahulu mereka rasai bisa kembali lagi dalam dekapan kehidupannya.


    “Larilah. Sebentar lagi roket-roket bedebah itu akan menghancurkan tempat ini. Selamatkan anak-anak terlebih dahulu, lalu lari secepat mungkin seolah kalian akan mati hari ini juga,” seru seseorang dari kejauhan, suaranya terdengar oleh siapapun, membuat kami panik sambil berlari menyelamatkan yang bisa diselamatkan. Anak kami adalah prioritas paling utama, karena masa depannya masihlah panjang dan kehidupan kecilnya tak patut menerima semua ini.


    Aku menggenggam sepasang tangan gadis kecilku yang masih belum paham dengan keadaan sekitar. Dia masih tak mengetahui akan arti ‘perang’ dan ‘kematian’. Gadis kecilku hanyalah sebuah bunga yang baru tumbuh diatas lingkungan yang nyaman, tak memiliki dosa apalagi sesuatu yang merenggut masa kecilnya.


    “Dengarkan aku, gadis manis. Hari ini kita akan pergi dari sini untuk berpetualang ke kota lain.”


    “Mengapa, Papa? Mengapa kita harus pergi dari sini. Disini aku memiliki teman-teman yang baik, bunga-bunga yang indah, dan langit cerah saat Mum menjemur pakaiannya. Aku nyaman berada disini, tak ingin pergi berpetualang. Lagipula besok aku bakal sekolah, Papa. Aku harus belajar menulis dan membaca, barusan aku baru saja menyiapkan buku-buku dan alat tulisku untuk esok hari.” Hatiku begitu sakit dan perih mendengar semua perkataannya. Dirinya yang selalu bersemangat seolah harus dipatahkan dihari ini pula, dipatahkan oleh sebuah perang yang penuh kesia-siaan.


Terdengar orang-orang diluaran sana yang berteriak, berlari-lari sambil menenteng kopor dan tas-tasnya. Mereka panik mendengar kabar penyerangan, bersiap untuk meninggalkan kota ini sesegra mungkin. Sedangkan aku? sedang membujuk anakku, aku tak ingin dirinya merasakan panik pula seperti orang-orang diluaran sana. Aku hanya ingin melakukan semua ini seperti berpetualang bersamanya.


“Ini akan menjadi petualangan yang menarik, percayalah padaku,” kini suaraku merendah, semakin berusaha membujuknya ditengah kepanikan yang terus berkecamuk dalam pikiranku.


Gadis kecilku hanya diam sambil menatap sepasang mataku, dia merasakan keanehan yang tak biasa. Hari-harinya yang tak pernah merasakan kesakitan dimasa apapun, harus merasa kehidupan hari ini dimilikinya sebagai bencana hidup yang melanda. Tak pernah kurasai pula rasa sesedih ini, bukan karena kini kehidupanku diambang batas yang siap memasuki liang lahat yang gelap, tetapi aku terpikirkan nasib mereka yang tak berdosa, nasib para anak-anak yang hanya bisa berlari sambil menangis ketakutan tanpa orang tua yang mendampinginya. Sesedih apapun duniamu saat ini, kau harus tetap berlari secepat mungkin dengan sepasang kakimu, berlari seolah tiada waktu lagi bagi kehidupanmu yang tengah sekarat ini. Maut akan terus mengejarmu sepanjang waktu, dan kau mestilah hidup dalam keadaan apapun karena semua orang tersayangmu menunggumu di depan sana, berharap kau akan tetap hidup sambil mendekap ragamu yang baik-baik saja.


Aku mengemasi barang-barang, mengemasi yang berharga bagiku. Gadis kecilku hanya diam saja menatapku yang tengah terburu-buru dengan keringat yang bercucuran dari dahi. Napasku seolah tersendat dan sepasang tanganku gemetar dibuatnya. Suara rentetan tembakan itu terdengar dari kejauhan, diramaikan pula oleh jet-jet yang berterbangan tepat diatas kepalaku. Konvoi-konvoi kendaraan lapis baja berjajar diatas aspal, saling menggilas segala hal di depannya, melaju cepat mencegah mereka penyerang memasuki negeri ini. Dan semoga saja begitu, semoga saja segalanya segera berakhir meskipun semua ini baru terjadi beberapa menit yang lalu. Langit segera menghitam, awan digantikan oleh asap, dan mesiu mengeilingi kota laksana api membabat hutan yang hijau. Suhu dunia segera menaik mencapai puncak, dan bumi pun bergejolak karena panasnya. Orang-orang yang berlari, saling menangisi nasibnya yang kini langsung berubah. Beberapa dari mereka bersembunyi dibawah bangunan yang retak, dan sebagian besar dari mereka berlari terus-menerus hingga sepasang kaki seolah hancur diterjang besarnya batu.


    “Papa, suara apa itu? Mengapa diluar ramai betul,” kata gadis kecilku, terlihat wajahnya memucat, dan sepasang tangannya bergetar hebat, matanya berkaca-kaca. Tergenanglah air mata dihari ini, sebuah butiran air yang siap terjun sebagai penanda bahwa mesiu akan segera menghabisi segalanya yang ada dihadapan para manusia, memotong segala nasib remaja dan masa kecil, menghabiskan semua yang tersisa hingga menjadi abu lalu terbang ditiup tornado api hingga tak terlihat apapun lagi. Kami berdua langsung berlari keluar, meninggalkan apapun yang ada di rumah. Kenangan, dunia, dan segalanya yang begitu nyaman kami tingggalkan begitu saja. Bahkan sang istri yang tengah beristirahat dibawah tanah pun harus kami tinggalkan, maka kini dia sedang menatap kami dengan kepedihan yang begitu kentara diatas sana, menyaksikan kami yang berlari menghindari maut dan api, menghindari nasib buruk yang menimpa sesama manusia. Berdoalah manusia yang telah tiada itu, mereka seakan melancarkan doanya agar bumi ini segera membaik seperti semula, agar kehidupan dan nasib manusia tak senaas masa-masa perang dahulu.


    Lariku gemetar seiring suara ledakan saling bersahut-sahutan, saling membalas dan mencaci segala suara lain. Bumi yang kutinggali begitu indah dengan padang bunga dan pepohonan rimbunnya. Namun itu semua terbakar dan hangus tanpa sisa, tanpa memperoleh apapun apalagi kemenangan yang mutlak. Semuanya meninggalkan bencana, bencana, dan bencana yang terus terjadi seiring hari berganti dan mesiu berseri. Jika kau melihat ke trotoar, ke jalanan yang lenggang dengan orang-orangnya, kau bakalan melihat sekelumit cahaya harapan dalam hati mereka, sebuah cahaya kecil yang bisa membesar seiring kau menarik napas diatas dataran yang luas ini. Dan cahaya harapan itulah yang membawakan kami sebuah keamanan, sebuah kedamaian yang selalu kami dambakan meskipun semakin hari berganti dan dunia semakin memburuk saja. Mau dunia memburuk ataupun tidak, kami tetaplah berharap penuh agar segalanya berakhir sudah dengan sebuah jalan yang bersinar. Tak peduli seorang pahlawan akan datang atau tidak, tapi kami akan tetap berlindung dibawah puing-puing ini sambil gemetar ketakutan seolah hari ini pula adalah hari yang bakal membuat kami kembali kepada dunia asal kami. Sebuah dunia yang gelap dan tak siapapun bisa merasakan sesuatu yang pasti, dunia yang hampa dan kosong, yang hanya diisi oleh jiwa-jiwa malang melintang dan tak menentu. Namun kami akan tetap hidup!


Aku menggendong gadis kecilku, berlari tak tentu arah sambil sesekali melirik kebelakang, berharap tiada sesuatu yang merusak punggungku. Suara-suara dentuman begitu keras terdengar, memekikkan hingga sepasang telinga tak menentu nasibnya. Asap menutupi langit yang biru, menutupi awan dan matahari yang bekerja sebagaimana hari-hari biasanya. Sedangkan kami disini bergelut dengan peluh, bergelut pula dengan nadi dan urat pada jantung, serta bertaruh dengan malaikat kematian yang tengah bersiap mencabut nyawa kami satu-persatu. Kematian dan kehidupan seolah melayang-layang, hendak terbang tak tentu arah dan hendak hilang ditelan waktu dan detik. Segalanya begitu berhamburan ketika diri ini menatap kebelakang, melihat manusia yang berpasang-pasangan berlari secepat mungkin sambil bertariak ketakutan, dalam hati mereka tersirat sebuah nestapa yang begitu menyakitkan. Keluhan demi keluhan keluar dari bicara umat manusia, mereka melancarkan emosi dan hasratnya kepada tanah bumi yang hijau ini, kepada langit biru yang bagaikan buih lautan.


Darah adalah gumpalan cairan merah yang berada dalam tubuh setiap makhluk, entah itu hewan ataupun seorang manusia yang hidup ditengah gersangnya padang pasir dan gersangnya tanah yang tandus. Darah tetaplah mengalir dari semua orang, maupun orang tersebut sebaik malaikat ataupun sejahat iblis dari bawah tanah. Mereka semua akan mati oleh ulah mereka sendiri, mati dengan mengenaskan dengan darah yang berceceran dimana-mana, dan pada saat itulah umat manusia menyadari bahwa peperangan adalah sia-sia belaka, hanya sesuatu yang konyol dan tak ada makna. Semuanya akan dirugikan suatu saat, akan menerima segalanya yang begitu menyakitkan sampai pada akhirnya dataran bumi ini lelah oleh perilaku manusia yang begitu bejatnya, merusak dan menghancurkan segalanya yang sudah disediakan alam ini. Sehingga bumi ini menghancurkan dirinya sendiri dan mengadu kepada Tuhan bahwa dirinya telah usai tugas untuk memberi tempat tinggal terhadap semua makhluk.


Hanya sebuah otak dan secangkir teh hangat yang tengah dinikmati seseorang diatas kursi pualamnya, dan seseorang itulah yang tengah berpikir untuk melakukan banyak hal karena kekuatan negerinya. Hal ini telah terjadi beratus-ratus tahun silam, sejarah seolah memperlihatkan bentangan kertas lebarnya kehadapan umat manusia, tulisan-tulisan akan riwayat seseorang yang berkuasa dan menggunakan kekuasaannya hanya untuk berperang dan menguasai serta mengancam dunia ini. Maka pada akhirnya akan terjadi sebuah bencana hebat yang Tuhan berikan kepada kami semua, kepadaku dan kepada gadis kecilku yang tengah kugendong dengan air mata yang bercucuran ditengah teriakan manusia. Seluruh daratan hancur dan perpustakaan-perpustakaan akan hilang, semua buku-buku yang awalnya membangun peradaban akan menjadi abu yang tiada guna sama sekali dan akan tertiup angin tanpa arah tujuan yang jelas. Sedangkan umat manusia akan meronta-ronta ingin bebas dari kegelapan ini, tertatih perjalanannya karena tak ada jalan yang mulus ataupun sebuah bangunan yang layak untuk ditinggali. Sejauh mata memandang hanya akan ada lautan api dan langit yang buram ditelan dosa-dosa umat manusia. 


Aku terus berlari dan berlari hingga sepasang kakiku ingin patah rasanya. Suara dentuman hebat itu tak terdengar lagi, kini digantikan oleh suara ratapan tangis menyedihkan dari seorang perempuan tua dan anak-anak yang sepertinya tak ada harapan. Mereka menggigil seolah menghadapi badai salju yang datang dari utara, dan pucat layaknya terkena wabah dari abad pertengahan.


Dan sama sepertiku serta gadis kecilku. Kami berdua melirik ke segala arah, mendapati ratusan pasang manusia yang terlunta-lunta. Sebagian dari mereka masihlah berpakaian rapi, dan sebagian kecil dari mereka di perban disetiap inchi tubuhnya, berdarah-darah dengan nyawa yang hendak merenggang. 


“Papa, akankah kita mati hari ini?” tanya gadis kecilku. Pertanyaan itu membungkamku seribu bahasa, tiada yang tahu kapankah sebuah nyawa akan terhapus selain Tuhanku sendiri Yang Maha Mengetahui.


“Setiap orang tentu saja akan mati, tetapi hari ini, dan detik ini, kita akan terus hidup dan berjuang sampai semua ini berakhir. Kita akan tetap melawan meskipun tanpa senjata, meskipun kita akan melawan dengan sebuah untaian kalimat. Semoga Tuhan memberikan terus harapan kepada kita, dan memberi jalan supaya segala ini berakhir dengan semestinya tanpa darah yang terus berceceran diatas aspal yang kering.” Gadis kecilku hanya diam, menatapku dengan sepasang mata birunya yang indah, lalu menyeka air matanya. Terlihat sebuah api yang membara di retina mata itu, sebuah harapan yang akan terus membawa gadis kecilku, aku, dan semua orang yang diskeitarku tetap hidup dan mendapatkan rumah mereka kembali.


Kini aku terduduk, membuka tasku dan mengambil lembaran kertas polos yang siap dilukis ribuan huruf. Dan inilah caraku melawan, dengan menulis dan mengungkapkannya kepada dunia bahwa kami ada dan kami akan tetap hidup meskipun asap mesiu tetap membara disekililing kami.

Komentar

Postingan Populer