Cerpen - Pria Bertongkat
Pria Bertongkat
Karya:
Ilyas Saputra Arsyad
Sepasang mataku berupa butiran bulat yang
memancarkan miliaran warna, tetapi dua butiran bulat itu menggambarkan
kejeniusan ciptaan Tuhan yang tak ada duanya. Setiap makhluk hidup memiliki
sepasang mata; burung dara yang terbang diatas kepala, seekor tupai yang
berlari melintasi batang pohon pinus, serta ular-ular yang menari kegirangan
saat menatap mangsanya yang tengah sekarat, mereka memiliki mata yang selalu
ada saat sebuah objek berada di hadapannya. Begitupun dengan seorang pria yang
memakai tongkat itu, dirinya berjalan tertatih-tatih seperti seekor rusa yang
luka dicabik singa, ataupun seperti pohon yang mati digerus usia. Sepasang
kakinya tak bisa merasakan dingin dan basahnya tanah, tak bisa merasakan
perihnya batu bara yang panas, dan tak bisa merasakan nikmatnya berjalan dan
menuruni bukit yang terjang.
Tak tahu apa yang bisa kurasai ketika
menatap si Pria Bertongkat itu, dia hanya mondar-mandir tak tentu arah dan tak
tentu tujuan, melirik kesana-kemari seperti seorang yang bingung menghadapi masa
depan. Matanya menatap liar segala yang baginya menarik, menatap sungai yang
diatasnya terapung kodok-kodok tengah berjemur, dan menatap bintang yang
mewarnai langit malam. Baginya sepasang mata merupakan karunia yang tak ada
batasnya, karunia yang memperlihatkan keindahan Pegunungan Jura dan Kastil
Bavaria, serta bisa pula sepasang mata merupakan karunia kengerian yang tiada
tara, memperlihatkan neraka dunia berupa perang dan juga pembantaian. Hanya si
manusia bijaklah yang bisa menuntun sepasang matanya itu memperlihatkan
kebaikan ataupun keburukan. Namun si pria itu adalah seorang yang bijak
rupanya, meski sepasang kakinya tak bisa berfungsi sebagaimana manusia yang
hidup, tetapi sepasang matanya selalu mencari-cari segala hal yang nampak tak
sesuai dengannya.
Pria bertongkat itu hidup ditengah
kota, menanti-nanti seseorang yang berhati busuk melewati dirinya, merogoh saku
seorang pejalan kaki yang menghadap kedepan sambil mengambil sesuatu dari dalam
saku pejalan kaki itu. Disaat itulah pria bertongkat melihat kebiadaban seorang
pencuri karena sepasang matanya yang jeli, menghentikan aksi manusia yang tak
terpuji. Pria bertongkat itu meneriaki sang pencuri, hendak mengejar tapi tak
bisa, dia hanya bisa menghentikannya tanpa menangkapnya.
Namun balasan yang didapatkan dari
orang-orang begitu indahnya, Pria Bertongkat itu dianggap sebagai seorang
pahlawan kota yang membebaskan banyak pejalan kaki dari para pencuri yang
meresahkan. Banyak pejalan kaki selalu memberinya beberapa koin dan mendoakan
sang pahlawan agar tetap hidup dan melakukan kebajikannya terus-menerus. Namun sang
Pria Bertongkat pun selalu menolak pemberian dari pejalan kaki itu, karena
dirinya hanyalah hidup untuk kebaikan dan mati demi kebaikan pula, tak ingin
dirinya diberi upah ataupun sebongkah emas karena kebaikan yang tulusnya itu.
Semakin banyak pejalan kaki, para pejabat, bahkan pemimpin negeri ini yang
mengunjunginya, menyapanya sambil tersenyum berharap si Pria Bertongkat ini menerima
hadiah dari negara, tetapi sekali lagi si Pria Bertongkat menolaknya dengan
sangat halus.
“Mengapa kau melakukan kebaikan
meskipun dirimu tak terlihat baik-baik saja?” tanyaku kepada si Pria Bertongkat
yang kini tengah berdiri mengawasi jalanan yang hiruk-pikuk.
“Banyak manusia yang berharap kebaikan
mendatangi dirinya tanpa mereka memulai kebaikan terlebih dahulu, hal seperti
itu tidaklah bermakna dan tidaklah berguna. Lakukanlah kebaikan meski dirimu
sedang sakit ataupun tak baik-baik saja, niscaya kehidupan ini akan mewarnai
sejarah hidupmu dan bongkahan kebaikan akan menimpa dirimu begitu saja.”
Aku terdiam, terkagum-kagum dengan
perkataan Pria Bertongkat ini. “Selalu kulihat seorang yang meminta-minta tanpa
usaha, hanya duduk disebuah trotoar tanpa kebajikan yang mereka laksanakan,
apakah mereka juga patut diberi tahu perihal kebaikan ini?”
Pria Bertongkat tersenyum, lalu
menatap langit yang dipenuhi awan biru. Cahaya matahari yang lembut menerpa
kulit pucatnya yang begitu terang. Kebaikan menerangi Pria Bertongkat ini,
serta kebijaksanaan mewarnai kehidupannya yang kesepian namun bermakna.
“Mereka yang buta, terluka, cacat,
ataupun hendak tiada karena maut segera menjemput, adalah para manusia yang
sama sepertiku, menjalani hidup seperti sekawanan pemuda-pemudi yang tengah
duduk diatas padang rumput hijau. Mereka merupakan satu-kesatuan manusia hidup
yang menjalani nasibnya masing-masing, patutnya mereka melaksakan kebaikan
meskipun sekecil biji kenari sekalipun, karena sejatinya seorang manusia hadir
di bumi ini untuk membantu sesamanya, untuk saling memberikan dan menyebarkan
segala kebaikan yang membuat umat manusia akan nyaman berada di dekatnya. Hal
itu akan mendekatkan dirinya dengan keindahan dunia yang belum pernah dilihat
para manusia lain,” Pria Bertongkat tertawa pelan sambil menatapku dengan
hangat. “Kawan kau lihat seorang pria yang memakai topi musim panas, yang
tengah duduk diatas kursi taman itu?”
Aku memicingkan mata, kini sedang
menatap seorang pria yang mengenakan topi musim panas.
“Lihatlah, dia sedang melakukan
sesuatu.”
Pria Bertongkat itu menunjuknya sekali
lagi, dan aku terus memperhatikannya. Sepasang mataku menangkap suatu perilaku
manusia yang begitu umum, memberi makan kawanan merpati dengan remahan roti
yang ada di tangannya.
“Meski dimatamu kau melihat suatu perlakuan
biasa seorang manusia kepada hewan, tetapi jika kau melihat dari sudut
pandangku yang sedikit berbeda ini, kau akan melihat suatu keajaiban yang tak
terduga.” Pria Bertongkat ini terdiam sejenak, menghela napasnya seolah yang
bakal dia ungkapkan berupa pernyataan perang terhadap musuhnya. “Berbagi kepada
manusia ataupun hewan merupakan kebaikan yang sungguh luar biasa. Tatkala
dirimu dirundung masalah akibat kelaparan, kau akan senantiasa menunggu dan
mengharapkan bantuan dari manusia yang baik hati, menunggu sebongkah roti untuk
mencegah malaikat maut mendekati. Jika kau berbagi, artinya kau menyelamatkan
nyawa seseorang. Bayangkan jika kau melihat seorang gadis kecil yang begitu
kurusnya sedang tergeletak tak sadarkan diri akibat kelaparan hebat yang
melanda kotanya itu, selanjutnya apa yang bakal kau lakukan?” tanyanya kini
menatapku dengan serius.
“Memberikannya sebongkah roti jika aku
punya, kalaupun aku tak memilikinya aku akan berusaha mati-matian karena kini
aku menyadari bahwa dengan memberi saja aku bisa menyelamatkan sebuah nyawa
yang begitu berharga,” jawabku dengan bersungguh-sungguh.
“Itulah yang kuharapkan darimu, kawan.
Meski kau menjadi seorang yang memiliki segalanya ataupun tak memiliki apapun,
kebaikan dan kebajikan patutlah dilakukan, karena dengan kebaikan apapun kau
bisa menyelamatkan nyawa seseorang bahkan bisa mengubah hidup seseorang.”
Berubahlah aku menjadi seorang yang
baik hati, mengikuti langkah seorang Pria Bertongkat yang selalu hadir di kota
yang sesak oleh para manusia ini, dia tetap melakukan kebaikannya meski hujan
dan guntur menyertai hari-harinya itu. Segalanya nampak indah bagiku yang hidup
dengan berbagi ini, tak ada alasan bagi seorang manusia untuk tak saling
berbagi dan menyebarkan kebaikan. Tuhan mendekatkan segala keindahannya kepada
kehidupanku ini, kemewahan, kecerdasan, dan segala-galanya yang baik bagi bumi
tercintaku. Namun kerendah-hatian tetaplah menjadi ujung tombakku, tersenyum
kepada mereka yang mengagumiku, memberi kepada mereka yang tak bisa berbuat
banyak, dan tetap menyebarkan kebaikan meski hanya sekecil biji kenari
sekalipun.
Bertahun-tahun aku tak mengunjungi
kota si Pria Bertongkat itu, meski raganya sudah hampir kulupakan, tetapi
bicaranya tetap kuingat sepanjang aku hidup dan menatap langit yang dipenuhi
aurora ini. Saat aku mengunjungi kota yang dipenuhi para manusia itu, yang
dipenuhi burung merpati dan keindahannya, aku tak melihat pria pucat dengan
tongkat yang selalu dia pakai sehari-hari untuk melaksanakan kebajikan
mulianya. Namun tak disangka, kini aku melihat sebuah patung besar menyerupai
dirinya dengan bunga-bunga indah yang bermekaran di sekeliling patung itu. Pria
itu telah tiada, raganya sudah terkubur menjadi belulang yang dilupakan, tetapi
jiwa dan kebaikannya tetap diingat manusia ketika menatap patung megah dirinya.
“Disini tertulis, berbuatlah kebaikan
meski dirimu tak sedang baik-baik saja.”
Komentar
Posting Komentar